1 Petrus (Penembakan Misterius)-
1982
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah
suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum
adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap
mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul
istilah "petrus", penembak misterius.
Petrus berawal dari operasi penanggulangan
kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada
Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar
perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan
Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal
yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya
tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta,
langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota
dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang
tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada
107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat
74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri
saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui
terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734
sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan
II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana
mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di
berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita
hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang
kekuasaan. Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan
kebijakan pemerintah Indonesia ini.
2 Peristiwa Tanjung Priok- 1984
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas
dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan
defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang
kemudian menembaki mereka. Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam
kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun
1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan
melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer
diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang
dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu
agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah
tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di
kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
3 Tragedi Bintaro
Tragedi Bintaro adalah
peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam
sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik
dunia. Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung, bertabrakan
dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini
tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi
di Indonesia.
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan
adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah
Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini
dilakukan karena penuhnya jalur di stasiun Sudimara.
4 Peristiwa Talangsari
Peristiwa
Talangsari 1989 adalah
insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun
Talangsari III,Desa Rajabasa
Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen
Lampung Timur (sebelumnya
masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.
Peristiwa
Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari,
Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena
tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin
komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Nurhidayat,
dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara
Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal
dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat,
Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal
dengan peristiwa Talangsari,Lampung . Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh
aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat
melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten
Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi
dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah
dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.
Tewasnya
Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung
Kolonel AM
Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada
7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang
mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini
memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan
dari kedua belah pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk
Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke pengadilan 23
orang.
5 Peristiwa
Situbondo- 1996
Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi
kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa
itu mulai karena massa tidak puas dengan hukuman penjara lima tahun untuk
terdakwa Saleh, (yang beragama Islam) yaitu tuntutan maksimal yang dapat
dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap agama Islam. Oleh karena
ketidakpuasan itu serta kesalahpahamannya bahwa Saleh disembunyikan di dalam
gereja, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada
akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau dirusak, serta beberapa
sekolah Kristen dan Katolik, satu panti
asuhan Kristen, dan
toko-toko yang milik orang keturunan Tionghoa.
Selanjutnya, lima orang ditewas dalam pembakaran salah satu gerejanya. Dipikir
bahwa peristiwa itu direkayasa untuk mendiskreditkan Nahdlatul
Ulama dan
pemimpinnya pada saat itu,Abdurrahman
Wahid.
Sudah banyak
ditulis tentang apa yang terjadi pada tanggal itu di Situbondo, tetapi
rupanya dampaknya setelah enam tahun belum diteliti oleh siapapun. Oleh karena
itu, tujuan penelitian ini adalah memeriksa bagaimana kehidupan masyarakat
Situbondo sudah berdampak oleh peristiwa kerusuhan itu secara sosial, politik
dan ekonomi. Untuk mengetahui dampaknya, orang Situbondo diwawancarai, serta
‘orang luar’ supaya mendapat pandangan yang seimbang. Ditemukan bahwa masyarakat
Situbondo memang sudah berdampak oleh peristiwa itu, dan bahwa dampaknya
sebagian besar bersifat positif.
Kalau dampak
sosial, ditemukan bahwa hubungan sosial lebih dekat sekarang, karena ada lebih
banyak komunikasi antar-masyarakat dan antar-agama, dan juga karena ada lebih
banyak kerjasama antara kelompok-kelompok masyarakat sekarang. Oleh karena itu,
orang Situbondo lebih menghormati kepercayaan masing-masing serta menghargai
kebiasaan dan adat-istiadat kelompok lain. Memang, hubungan antar-denominasi
Kristenpun sudah menjadi lebih dekat akibat peristiwa itu.
Peran
tokoh-tokoh agama dalam usaha pemulihan masyarakat Situbondo – baik yang Islam
maupun yang Kristen – juga sangat positif dan memang sangat penting, karena
mereka mendorong para penganutnya mengikuti contohnya. Jadi rupanya sikap orang
Situbondo sangat bersifat positif tentang masa depan : tidak ada banyak
orang yang takut permasalahan muncul kembali.
Akan tetapi,
walaupun masih ada beberapa orang yang merasa ketegangan sewaktu-waktu, secara
keseluruhan orang Situbondo, termasuk orang Kristen, rupanya tidak terlalu
dipengaruhui secara negatif oleh peristiwa itu.
Jadi
masyarakat Situbondo memang sudah menjadi lebih toleran akibat peristiwa itu
dipikir bahwa sudah ada suasana yang rukun di Situbondo pada dewasa ini.
Kelihatannya
orang Situbondo umumnya tidak terlalu tertarik pada pokok persoalan politik,
jadi mereka tidak terlalu dipengaruhui oleh dampak politik apa pun. Memang ada
perubahan pikirian politik beberapa orang Situbondo setelah peristiwa itu,
khususnya orang Kristen di daerah tertentu dan orang Madura. Namun, secara
keseluruhan, kehidupan sehari-hari orang Situbondo tidak berdampak secara
politik oleh peristiwa itu. Oleh karena itu, mereka tidak percaya akan ada
masalah pada tahun 2004, waktu pemilihan umum berikutnya di Indonesia.
Kalau dampak
politik yang lain : Disebabkan oleh peristiwa itu adalah contoh kekurangan
toleransi agama, diusulkan bahwa ada pertentangan dengan Pancasila karena
ideologi itu mengajarkan harus menghargai umat beragama lain. Akan tetapi,
ditemukan bahwa masyarakat Situbondo memang mencoba mengubah sikapnya supaya
lebih toleran kepercayaan masing-masing, sesuai dengan filsafat Pancasila.
Kalau partai
politik, juga ditemukan bahwa tujuan orang tertentu untuk menjatuhkan nama NU
sebetulnya tidak tercapai karena justru dengan peristiwa itu, hubungan antara
orang Kristen dan orang Islam lebih dekat, sebagian besar oleh karena kerjasama
yang sering dan luas sekarang di Situbondo.
Ditemukan
bahwa memang ada beberapa kelompok yang berdampak secara ekonomi oleh peristiwa
10-10 itu, tetapi secara umum kelihatannya masyarakat Situbondo tidak berdampak
setidak-tidaknya secara jangka panjang. Memang ada orang Kristen yang
seharusnya menerima bantuan dari pemerintah tetapi bantuan itu tidak pernah
ada. Yang menarik adalah sikap orang Kristen itu bahwa sebetulnya mereka tidak
ingin dibantu oleh pemerintah tetapi oleh masyarakat saja.
Kelihatannya
sikap orang Situbondo sangat positif – memang sudah ada suasana yang rukun dan
positif di Situbondo karena masyarakatnya lebih saling menghormati dan saling
mengerti sekarang. Walaupun masih ada beberapa orang yang ketakutan
sewaktu-waktu, secara keseluruhan rupanya orang Situbondo tidak berdampak
secara negatif oleh peristiwa itu. Jadi, mungkin dampak terpenting dari
peristiwa itu adalah pengetahuan bahwa komunitas pluralitas itu di Situbondo
memang dapat hidup bersama dan saling menghargai.
6 Kerusuhan
Barjarmasin- 1997
Kerusuhan Banjarmasin terjadi pada tanggal 23 Mei 1997,
Banjarmasin dilanda kerusuhan massal, menyusuli kampanye Golkar pada hari
terakhir putaran kampanye PPP menjelang pemilu 1997. Dilihat dari skala
kerusuhan dan jumlah korban serta kerugiannya, peristiwa yang kemudian disebut
sebagai Jumat Membara atau Jumat Kelabu itu termasuk salah
satu yang terbesar dalam sejarah Orde Baru. Namun, akibat ketertutupan
pemerintah, tidak ada laporan yang akurasinya bisa dipercaya penuh mengenai apa
yang sesungguhnya terjadi di lapangan pada waktu itu. Dibandingkan dengan
skalanya, berita-berita pers sangat terbatas dan tidak sebanding.
Tanggal 23 Mei 1997 kebetulan jatuh pada hari
Jumat. Pada hari itu berlangsung putaran terakhir masa kampanye Pemilu 1997,
yang secara kebetulan merupakan hari kampanye Golkar. Menurut rencana semula,
setengah hari kampanye diawali dengan kampanye simpatik berupa pendekatan
kepada kalangan bawah dengan target operasi buruh, pengojek, dan tukang becak.
Kemudian, setengah hari berikutnya, usai ibadah Jumat, kampanye akan
dilanjutkan dengan panggung hiburan rakyat di lapangan Kamboja. Pada acara
tersebut akan hadir Menteri Sekretaris Kabinet (Mensekkab) Saadilah Mursjid, Ketua MUI
KH Hasan Basri, dan artis-artis ibu kota. Rencana
itu tidak pernah terwujud, karena yang terjadi kemudian adalah malapetaka
berupa kerusuhan massal.
Hingga tengah hari, semua kegiatan di tengah
kota Banjarmasin berjalan normal. Begitu pula di kompleks pertokoan Plaza
Mitra, yang kemudian menjadi pusat kerusuhan. Pengunjung dan pembeli ramai
seperti biasanya, para pegawai kompleks pertokoan berlantai empat itu pun
bekerja sebagaimana hari-hari sebelumnya. Di lantai satu kompleks pertokoan
yang terletak di tepi sungai Martapura ini terdapat perkantoran, antara lain
kantor Bank Bumi Daya (BBD). Lantai 2 digunakan sebagai tempat penjualan
pakaian, sementara di lantai 3 terdapat supermarket Hero, TB Gramedia, restoran
CFC, dan bioskop. Di lantai 4 terdapat diskotik, kedai kopi, dan tempat
hiburan, termasuk biliar dan sejenisnya.
Mulai sekitar pukul 9.00, kegiatan kampanye
sudah semarak, warna kuning ada di mana-mana. Golkar membagi-bagikan saputangan
bergambar beringin dan bekal nasi bungkus, masing-masing berjumlah 10 ribu
buah. Sasaran kampanye ini ialah para buruh, tukang becak, tukang ojek. Pada
sekitar pukul 11.00 kampanye membagi-bagi nasi bungkus dan sapu tangan usai
dengan tenang.
Pada sekitar pukul 12.00 atau tengah hari,
umat Islam menjalankan ibadah salat Jumat. Sewaktu ibadah
berlangsung, sebagian massa kampanye Golkar, yang umumnya terdiri dari
anak-anak muda dan remaja, masih berkampanye. Mereka berputar-putar keliling
kota dengan menaiki sepeda motor. Banyak di antara sepeda motor itu knalpotnya
dicopoti, dan suara raungan mesin motor dirasakan sangat mengusik ketenangan
mereka yang sedang bersembahyang. Puncaknya, ketika arak-arakan sepeda motor
tersebut melewati Masjid Noor di Jalan Pangeran Samudera. Masjid ini terletak
di daerah basis PPP. Menurut sumber dari Tim Lembaga Bantuan Hukum Nusantara
(LBHN) cabang Banjarmasin yang melakukan investigasi ke lapangan, ketika massa
yang akan berkampanye itu melintas, jamaah salat Jum'at yang luber sampai ke
jalan itu masih sedang berdoa. Sebenarnya Polantas sudah berusaha menghadang
massa Beringin. Namun Satgas Golkar bersikeras untuk melewati jalan itu. Alasan
mereka, salat Jumatnya tinggal membaca doa. Kemarahan jamaah dengan cepat
menyebar seusai sembahyang Jumat dan sampai ke telinga penduduk di berbagai
sudut Banjarmasin lainnya.
Usai salat Jumat, terjadilah kerusuhan di
depan kantor DPD Golkar Kalsel. Kabar itu segera tersiar dan massa berdatangan
tanpa bisa dibendung. Mereka akhirnya bentrok dengan Satgas Golkar, yang
rata-rata berasal dari organisasi Pemuda Pancasila dan FKPPI. Karena massa
terlalu banyak, Satgas Golkar terpaksa mencari jalan selamat. Tapi akibatnya,
ada enam mobil peserta kampanye Golkar yang dibakar.
Di depan kantor Banjarmasin Post, dari arah timur
ribuan massa menyerbu dengan membawa senjata aneka macam. Mereka berlari-lari
ke arah lapangan Kamboja, tempat kampanye Golkar akan dilangsungkan. Di
sepanjang jalan, semua bendera, spanduk, umbul-umbul Golkar diturunkan dan
dibakari. Di sana, mereka bergabung dengan massa penyerbu yang mula-mula muncul
di pinggir lapangan. Panggung kampanye pun diserbu dan dirobohkan. Kaum
penyerbu bertarung dengan dua puluh ribu massal Golkar yang sedang berkumpul di
sana. Para petugas keamanan tidak mampu mengendalikan pertarungan dengan
kekerasan tersebut. Sebuah rumah ibadah (Gereja HKBP) yang terletak di dekat
kantor Banjarmasin Post mulai terbakar. Mobil pemadam kebakaran yang berusaha
mencegah menjalarnya api ke gedung Banjarmasin Post terpaksa pergi karena
petugasnya dikalungi clurit oleh massa. Namun api tidak jadi melalap kantor
Banjarmasin Post.
Sebagian massa menyerbu Hotel Istana Barito.
Di sana, mereka berhadapan dengan ribuan massa Golkar yang berkumpul di depan
hotel, sedang bersiap-siap untuk kampanye sore itu. Dari arah barat, tiba-tiba
muncul ribuan massa lain, sebagian mengenakan kaos hijau dan atribut PPP. Dengan senjata tajam dan apa saja,
mereka menyerbu massa di depan hotel. Mobil-mobil yang kebetulan ada di sana
hancur luluh lantak, kaca-kaca hotel pecah dilempari batu.
Mulai pukul 15.00, listrik padam, menambah
suasana mencekam. Kerusuhan meningkat. Sebagian besar tamu Hotel Istana Barito
masih berada di dalam kamar mereka dalam kegelapan. Tiba-tiba satpam hotel
menggedori pintu-pintu kamar dan berteriak, kebakaran! Para tamu pun
berhamburan ke luar, menyelamatkan diri masing-masing. Dengan cepat, kerusuhan
menjalar ke mana-mana. Massa terus melakukan pengrusakan, sambil meneriakkan
yel-yel PPP. Beberapa orang mengenakan atribut PDI. Suasana semakin kalut.
Massa merusak dan membakar mobil-mobil pribadi yang ditemui di jalan raya mana
saja dan menjarah isinya. Sebuha mobil meledak, setelah dibakar di jalanan. Di
depan Plaza Mitra, beberapa mobil segera bergelimpangan, sebagian terbakar.
Seorang wanita naik sepeda motor dengan hanya mengenakan BH di bagian atas,
karena kaos Golkarnya dirampas massa. Di jalanan, batu-batu berserakan, pecahan
kaca bertebaran di mana-mana.
Di
jalanan, fasilitas umum dihancurkan. Massa juga merusak dan melempari ruko-ruko
yang berderet di sepanjang Jalan HM Hasanuddin sampai Jalan A.Yani, di kawasan
Sudimampir, Jalan MT Haryono, dan Jalan Pangeran Samudera.
Di dalam kompleks Plaza Mitra, dengan
persetujuan dari manajemen di Jakarta, pimpinan
TB Gramedia memutuskan
untuk menutup toko dan karyawan diminta segera meninggalkan lokasi kerja. Semua
pulang, dengan catatan tidak memakai atribut PPP mana pun. Di depan Plaza
Mitra, petugas mulai menutup jalanan dan membuat pagar betis untuk melindungi
kompleks pertokoan itu. Tetapi, ribuan massa tidak terbendung. Mereka merangsek
ke depan, memecah pagar betis petugas, memcahkan kaca-kacaetalase, masuk ke
dalam gedung, dan menjarah apa saja yang bisa diambil. Gas air mata yang
disemprotkan petugas tidak mampu menahan mereka.
Hingga saat itu, Plaza Mitra baru dirusak,
tetapi belum terbakar. Kemudian, sebuah sedan putih didorong dan ditabrakkan ke
kaca etalase Toys Kids di lantai dasar, sebelum akhirnya mobil itu dibakar. Api
segera menyebar ke seluruh gedung. Setelah Plaza Mitra terbakar, gedung-gedung
lain segera menyusul. Malam itu, seluruh empat lantai gedung Plaza Mitra musnah
terbakar. Sementara itu, kerusuhan tidak hanya menjangkau kawasan petokoan.
Wilayah pemukiman penduduk pun mulai terkena. Kampung Kertak Baru Ulu,
khususnya RT 10 yang dihuni 30 KK mulai dilalap api sejak pukul 16.35 waktu setempat.
Kawasan pemukiman ini berlokasi di belakang Jalan Pangeran Samudera. Api
mula-mula berasal dari kelenteng (rumah ibadah) Cina, yang segera menjalar ke
rumah-rumah yang terletak di belakangnya. Api bahkan menjaalr ke asrama POM
ABRI yang hanya terpisah oleh sungai selebar 3 meter dari Kertak Baru Ulu.
Sementara
di tempat lain yakni di Jalan Veteran dan Jalan Lambung Mangkurat, pada waktu
yang sama, sebanyak enam gereja dan satu tempat ibadat Konghucu (Klenteng) ikut
dihancurkan. Rumah-rumah WNI keturunan Cina juga ikut dilempari batu. Bahkan
ada keluarga yang akan menyelamatkan diri, setelah mobil penjemput datang,
mobil tersebut dihancurkan kacanya. Terpaksa pemiliknya lari menjauh dari situ.
Juga ikut "digasak" massa adalah
rumah bos klub sepakbola Barito Putra yang juga calon legislatif dari Golkar.
Rumah itu disatroni massa dan dirusak. Kompleks Pamen ABRI pun ikut rusak --
barangkali karena penghuninya banyak yang menjadi calon legislatif Golkar.
Sekitar
pukul 17.00 Wita, massa bergerak kembali ke arah DPD I Golkar. Tapi tidak
langsung ke sana. Mereka mampir kembali di Jujung Buih Plaza. Genset Jujung
Buih Plaza dibakar dan gedung 8 lantai tersebut akhirnya terbakar. Di sebuah
hotel di gedung itu, Hotel Kalimantan, banyak artis yang mengikuti kampanye
menginap, termasuk jurkamnya. Di hotel tersebut juga menginap Ketua Umum MUI
Pusat KH Hasan Basri yang ikut rombongan kampanye. Disitu juga ada Gubernur
Kalimantan Selatan dan Muspida. Tapi akhirnya mereka dapat diselamatkan. Namun
tidak diketahui apakah di sana juga jatuh korban. Yang jelas, saat dilakukan
penyelamatan banyak yang jatuh pingsan. Gubernur Kalsel Gusti Hasan Aman
sendiri merasa sangat kaget dan seolah tidak percaya melihat ulah massa yang
begitu brutal.
Karena
massa terus mengamuk, pemadaman pun tidak berlanjut. Yang menyiram air kemudian
lari dari kepungan massa. Banyak tabung gas meledak. Setelah disiram air,
kemudian ditinggal lari menghindari amukan massa. Sejumlah sepeda motor tidak
dapat diselamatkan dan ikut dilalap si jago merah.
Mulai sekitar pukul 18.00, bagian belakang
gedung Anjung Surung mulai mengepulkan asap. Api membakar habis apotik Kasio
yang terletak di belakang gedung ini. Barisan Pemadam Kebakaran tidak berdaya,
karena mass amencegah dan mengancam mereka supaya tidak memadamkan api.
Namun secara ajaib, ketika seluruh api menelan
gedung-gedung di sekitarnya, gedung Anjung Surung selamat. Petugas UGD RS Islam
menyebutkan, hingga pukul 17.30 rumah sakit tersebut merawat 12 orang korban.
Delapan di antaranya menderita luka bacok, empat sisanta akibat kecelakaan lalu
lintas. Sementara RS Ulin menyeburkan, sedikitnya mereka merawat 20 orang
pasien, termasuk Didik Triomarsidi, juru foto Banjarmasin Post. Didik dianiaya
massa ketika meliput penghancuran gedung markas DPD Golkar.
Saat itu, orang-orang dari berbagai kampungpun
mulai gelisah dan mulai melakukan pengamanan masing-masing. Mereka semua keluar
rumah, menjaga setiap gang dan jalan-jalan masuk. Lengkap dengan senjata tajam,
berupa mandau, samurai, dan clurit. Penjagaan dilakukan semalam suntuk, karena
mereka mendengar isyu yang mengatakan bahwa Golkar akan mengadakan serangan
balasan.
Pukul 20.30 Wita, massa beramai-ramai ke arah
Supermarket Mitra, yang merupakan pusat pertokoan terbesar di Banjarmasin.
Letaknya di Jalan Sumatra. Di gedung berlantai empat ini banyak terdapat
toko-toko elektronik, komputer, diskotik, ruang pertemuan, show-room mobil
mewah, toko buku Gramedia, KFC, Bioskop 21, dan sarana hiburan anak-anak. Massa
berhasil masuk dengan menorobos blokade keamanan. Isi gedung dijarah dan dibawa
lari. Gedung itu sendiri telah terbakar sekitar pukul 20.00 Wita, dan api
menyala sampai pukul 09.00 keesokan harinya.
Massa terus mengamuk dan mengobrak-abrik isi
gedung. Pada saat itu tersiar khabar bahwa pasukan keamanan diperbolehkan untuk
menangkap dan menembak di tempat. Tapi pasukan keamanan tidak melakukan
apa-apa. Akhirnya, massa yang lengkap dengan berbagai senjata tajam itu terus
mengamuk. Pukul 22.00 Wita, 1000 orang pasukan bantuan datang dengan tiga
pesawat hercules. Menurut laporan LBHN Banjarmasin itu, tidak diketahui dari
mana mereka didatangkan. Pasukan kemudian bergerak mendekati Gedung Mitra
Plaza. Mereka menghalau massa yang masih ada di gedung itu. Senjata menyalak.
Namun pihak LBHN Banjarmasin tidak memperoleh informasi berapa korban yang
jatuh di sana.
Pada malam harinya, jumlah gerombolan massa
menyusut. Listrik masih padam dan seluruh kota dalam keadaan tetap gelap
gulita, hanya diterangi kobaran api di mana-mana. Beberapa tempat diblokade
petugas keamanan, namun gerombolan massa masih berkerumun di beberapa tempat.
Mereka memasuki kawasan pemukiman, menyerang dengan clurit, klewang, Mandau,
samurai, dan berbagai senjata lain. Beberapa rumah, kantor dan warung yang
berdekatan dengan Banjarmasin Post masih menyala terbakar. Benar-benar mirip
lautan api. Laporan awal menyebut, secara keseluruhan ratusan rumah dan toko
hancur, sebuah gereja Katolik, sebuah bank, dan sebuah hotel ikut hancur.
Sekitar 80 orang diberitakan luka-luka dan 50 orang ditahan.
Kemudian, sekitar pukul 23.00 Wita, massa
menuju ke arah luar kota. Sasarannya adalah rumah-rumah calon legislatif
Golkar. Karena terbetik khabar massa membawa formulir berisi Daftar Calon Tetap
(DCT) Golkar. Ada empat rumah yang dibakar walau belum jelas apakah itu rumah
caleg Golkar atau bukan. Juga menjadi sasaran adalah toko-toko Cina sepanjangan
jalan, ikut dihancurkan dengan lemparan batu. Hampir semua toko di sepanjang
Jalan A. Yani rusak berat dan api membumbung tinggi. Saat itu pasukan pun tidak
lagi diam. Mereka mulai mengejar-ngejar massa.
Yang sangat tragis, sekitar pukul 24.00 Wita,
seorang warga yang keluar rumah untuk melihat keadaan kelihatan tergeletak
tertembak peluru. Meski begitu, masih menurut laporan Tim LBHN Banjarmasin,
suasana di jalan-jalan masih ramai. Banyak orang yang sudah terlanjur keluar
sulit pulang lagi ke rumahnya masing-masing. Karena jalan-jalan sudah diblokir
oleh orang-orang kampung. Yang bukan warganya tidak diperbolehkan masuk dan
melewati jalan tersebut.
Namun sekitar pukul 01.00 Wita dini hari
(Sabtu, 24 Mei), massa bergerak ke luar kota. Karena semua jalan sudah diblokir
oleh pihak keamanan. Suasana semakin tegang. Khususnya di pusat kota, semua
listrik padam dan baru menyala pukul 09.30 pagi.
Kemudian pasukan keamanan, sekitar pukul 03.00
Wita, mengobrak-abrik Kampung Kelayan. Kampung ini
merupakan kampung terpadat dan dikenal banyak preman. Ada 195 orang yang
diamankan di kantor Polresta. Kondisi mereka babak belur dan hampir semua
menjadi sulit untuk dikenali wajahnya. Sekitar pukul 04.00 Wita, masyarakat
perumahan Beruntung Jaya yang semalam suntuk berjaga terus karena ada isyu akan
diserang, bertahan masuk ke rumah, saat ada suara pasukan datang. Tak jelas
berapa orang ditahan dari sana. Pukul 06.00 Wita, aparat keamanan, lebih kurang
5 truk, datang ke kampung Teluk Tiram. Di kampung itu, mereka memburu massa
yang diperkirakan ada di kampung tersebut. Mereka dengan senjata lengkap di
tangan berjaga-jaga terus di jalan-jalan utama. Setiap orang lewat yang
kelihatan mencurigakan digeledah. Bahkan, yang terlihat menggunakan pakaian
agak kumuh langsung dihentikan.
Hingga keesokan harinya, sabtu pagi, api
masih menyala di kompleks Plaza Mitra. Seluruh lantai gedung tersebut masih
belum bisa dimasuki. Tetapi bau sangit dan busuk menyengat hingga ke luar
ruangan. Regu penyelamat belum bisa bertindak apa-apa karena gedung masih
diselimuti api dan asap. Evakuasi baru bisa dilakukan sore hari ketika sebagian
api sudah padama. Kapolda Kalsel memberikan laporan kepada Kapolri mengenai
kemungkinan terdapatnya sejumlah mayat yang terbakar hangus di dalam kompleks
pertokoan. Para pejabat daru Jakarta yang sedianya berkampanye, diterbangkan
kembali dari Banjarmasin. Mereka termasuk Mensekkab Saadilah Mursyid dan KH
Hasan Basri. Pangdan Tanjungpura Mayjen Namoeri Anoem mengumumkan berlakunya
jalan malam di Banjarmasin, mulai pukul 8 malam hingga 5 pagi, selama lima hari
massa cooling off kampanye, 24-29 Mei 1997
7. Tragedi Trisakti- 1998
Tragedi
Trisakti adalah
peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas
Trisakti di Jakarta, Indonesia serta
puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang
Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998),Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1988). Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Ekonomi Indonesia mulai goyah
pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis
finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk
mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer
datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari,
para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa
panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti.
Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan
dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di
lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian
RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon
Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Pada pukul 20.00
dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan
kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi
menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru
tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
·
10.30
-10.45: Aksi damai civitas akademika
Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung
Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri
dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
·
10.45-11.00: Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara
penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang
dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak
sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia
sekarang ini.
·
11.00-12.25: Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan
dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara
tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
·
12.25-12.30: Massa mulai
memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di
atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut
untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya
ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu
gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
·
12.30-12.40: Satgas mulai siaga penuh
(berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa
untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada
saat turun ke jalan.
·
12.40-12.50: Pintu gerbang
dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung
MPR/DPR melewati
kampus Untar.
·
12.50-13.00: Long march mahasiswa
terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh
barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua
lapis barisan.
·
13.00-13.20: Barisan satgas
terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa
Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A
Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara
negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak
massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping
bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai
bergabung di samping long march.
·
13.20-13.30: Tim negoisasi
kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas
dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya
tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak
pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas)
sejumlah 4 truk.
·
13.30-14.00: Massa duduk. Lalu
dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung
di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara
aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara
itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan
kepolisian lainnya.
·
14.00-16.45: Negoisasi terus dilanjutkan
dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk
menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula
teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak
bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit
demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus. Polisi memasang police line. Mahasiswa
berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
·
16.45-16.55: Wakil mahasiswa
mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan
mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh
Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau
bergerak mundur.
·
16.55-17.00: Diadakan
pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam
kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar
pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim
Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih
karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara
perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras. Mahasiswa
bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang
oknum yang bernama Mashudyang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat)
berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang
anggota aparat yang menyamar.
·
17.00-17.05: Oknum tersebut
dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan
aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa
mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti
menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk
tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim
serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk
sama-sama mundur.
·
17.05-18.30: Ketika massa
bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang
meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa
sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa
sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam
oleh satgas mahasiswa Usakti. Pada saat yang bersamaan barisan dari
aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga
massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut
terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata
dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan
dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk
Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua
peluru karet dipinggang sebelah kanan.
·
Kemudian datang pasukan bermotor dengan
memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar
mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan
layang Grogol. Sementara aparat
yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan
menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja
mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat
terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang
Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan
tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
·
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah
menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua
baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam
kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban
baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus
tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi
kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
·
Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas
air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
·
18.30-19.00: Tembakan dari
aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban
yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
·
19.00-19.30: Rekan mahasiswa
kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar
hutan (parkir utama) dan sniper(penembak jitu)
di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang
kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti
musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
·
19.30-20.00: Setelah melihat
keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu
terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke
rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat
pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per
5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
·
20.00-23.25: Walau masih dalam
keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa
berangsur-angsur pulang. Yang luka-luka berat segera dilarikan
ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh
pimpinan universitas. Anggota Komnas HAMdatang ke lokasi
·
01.30: Jumpa pers
Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin di
Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam
Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota
Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
8 Kerusuhan Mei- 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang
terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis
finansial Asia dan dipicu oleh tragedi
Trisakti di
mana empat mahasiswa Universitas
Trisaktiditembak
dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan
oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi
kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat
ratusan wanita keturunan Tionghoa yang
diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian
bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu,
seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo
Sandyawan,
bernama Ita
Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18
tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi
suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara
sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk
massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan
menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau
"Pro-reformasi". Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini
dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan
massal yang sistematis atas mereka
di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah
Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap
kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan
yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas
kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak
pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak
diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya
masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan
sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama
pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida)
terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini
merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat
9 Kerusuhan Etnis di
Ambon- 1999
Konflik dan pertikaian
yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi
aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua
tatanan kehidupan bermasyarakat. Hingga 2 September 1991 setidaknya telah
tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan.Sebanyak 765
rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000
ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang
menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan
sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga
kebutuhan pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan
pendidikan terhenti.
-
Latar Belakang:
Tidak ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai
daerah yang sangat sentral peranannya dalam masa kolonial belanda dulu, dimana
daerah ini banyak digunakan sebagai agen tentara oleh kolonial. Sehingga tidak
heran masih banyak orang ambon yang masih tidak ingin berintegrasi dalam
Indonesia karena mereka sudah terlalu “enak” di ayomi oleh bangsa Belanda. Pada
saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Jumlah
pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil
dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk
agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan
tentara.
Sehingga
tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen
agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan
di masing-masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian
pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda
yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat.
Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok
agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang
saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung Batu
Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak
memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran
kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada
pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang
jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal
di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah
warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang memimpin
rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang Batu
Merah. Sekitar lima orang di muka rombongan itu mengenakan kain putih pada
lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab
bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri
mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran,
tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa itu dia
melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya
meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus
maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel
mobil yang terletak di bagian bawah dari rumahnya. Mereka rupanya menemukan
kain-kain lap kotor berlumuran minyak. Mereka menyulut kain-kain itu, lalu
dengan menggunakan parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain
dari bengkel sehingga api masuk ke dalam rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai
rata dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu
juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya
masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Kerusuhan
Ambon priode kedua yang diawali dengan pecahnya kerusuhan di pulau Saparua pada
hari Kamis, tanggal 15 Juli 1999 menurut hasil investigasi sementara
diakibatkan oleh dendam dan rekayasa pihak-pihak tertentu. Setelah pecahnya kerusuhan di Desa Siri Sori Islam,
Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga kota Saparua pada tanggal 15 dan 16
Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999 mulai terjadi kegiatan
lempar-melempar batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di Desa Poka dan
daerah sekitarnya Gang Diponegoro Kota Ambon.
Pristiwa
saling lempar-melempar batu di sekitar Perumnas Poka tersebut kemudian
dilanjutkan dengan pembakaran atas rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim
di kompleks Perumnas Poka yang kemudian dibalas dengan pembakaran rumah-rumah
termasuk rumah-rumah Dosen Muslim di Desa Poka dan Kompleks Universitas
Pattimura oleh warga Kristen.
Bersamaan
dengan itu warga Kristen sekitar Kudamati melakukan aksi pembalasan pembakaran
dan pembantaian terhadap warga Muslim suku Buton di daerah Wara (Kramat Jaya)
yang berada di sekitar Kompleks TVRI Gunung Nona dan perkampungan warga Muslim
Banda Eli di OSM Ambon yang mengakibatkan beberapa buah rumah terbakar dan
puluhan korban meninggal dunia.
Dari peristiwa
ini kerusuhan mulai melebar ke mana-mana hampir di seantero Kotamadya Ambon dan
daerah-daerah pinggirannya. Dari hasil investigasi, ternyata mulai hari Selasa, tanggal 27 Juli 1999
kerusuhan pecah antara lain di Desa Rumahtiga (tetangga Desa Poka), dimana
hampir sebagian besar rumah-rumah penduduk warga Muslim dibakar dan dimusnahkan
oleh penduduk yang beragama Kristen. Demikian juga di Kompleks Pemda II dan
Perumahan Pemda I terjadi pembakaran, pengrusakan dan penjarahan besar-besaran
terhadap rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim. Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan A.Y. Patty mulai dari
toko Dunia Musik bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah hingga lorong toko kaca
mata Optical Maluku hingga Bank Lippo dibakar dan dirusak oleh masa Muslim,
demikian juga beberapa rumah penduduk di Mardika. Sementara itu pusat pertokoan
di sekitar pantai pasar ikan lama (belakang Ambon Plaza) dibakar habis oleh
masa Kristen.
Kerusuhan
akhirnya berlanjut di wilayah-wilayah lain seperti di Galala dan Hative Kecil,
Lata, Lateri dan Passo hingga Desa Waai, bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim
yang datang dari Waihaong sempat menyerang dan membakar Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman Maluku, Kompleks Dok Wayame dan kapal yang ada di dalam
kompleks tersebut serta rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.
Dalam
kerusuhan ini seperti ada yang memberi komando, terjadi akumulasi masa secara
besar-besaran seperti yang terjadi di Desa Poka, Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa
Islam dari Jasirah Leihitu sempat menyebrang gunung dan ikut bergabung dengan
masa Islam di Poka, Taeno (Rumahtiga) dan Kota Jawa untuk menyerang warga
Kristen. Demikian juga masa dari kota Ambon yang sempat bergabung dengan masa
Desa Poka dan Desa Rumahtiga yang beragama Kristen untuk menghadapi masa
Muslim.
Sayangnya aparat keamanan
tidak bersikap jujur dan adil. Di Desa Poka misalnya aparat keamanan mencoba
menahan warga Kristen yang ingin mempertahankan diri, sementara mereka
membiarkan masa Muslim merusak, membakar dan menjarah rumah-rumah penduduk.
Demikian juga di Tanah Lapang Kecil dari lantai atas Gedung Telkom aparat
keamanan menembak masa Kristen di sekitar pasa kaget Batu Gantung (depan
Sekretariat GMKI), malah memimpin permbakaran rumah, gedung pemerintah dan
kompleks Dok Wayame di Tanah Lapang Kecil.
Dalam peristiwa kerusuhan
kali ini ratusan bom dan senjata rakitan, juga alat tajam lainnya telah
dipergunakan untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh serta
melukai ratusan penduduk.
Sumber-sumber:
- Wikipedia. “Penembakan
misterius”. Diunduh
pada tanggal 11 Maret 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius
- Wikipedia. “Tanjung
Priok”. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok
- Wikipedia. “Tragedi Bintaro”. Diunduh pada tanggal 11
Maret 2013 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Bintaro
Wikipedia.
“Peristiwa Talangsari 1989”. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Talangsari_1989
-
Wikipedia.
“Peristiwa Situbondo”. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Situbondo_1996
-
Wikipedia. “Kerusuhan Banjarmasin”. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Banjarmasin
Wikipedia. “Tragedi Trisakti”. Diunduh pada tanggal 11
Maret 2013 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
-
Wikipedia. “Kerusuhan
Mei 1998”. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998
Firman, Hendriko. 2009. “Kerusuhan Etnis di Ambon
Tahun 1999.
http://hendrikofirman.wordpress.com/2009/01/10/kerusuhan-etnis-di-ambon-tahun-1999/
2 komentar:
Terima kasih banyak ulasannya. Buat bahan riset saya untuk menulis novel.
tulisan bagus tentang peristiwa masa lalu ...trims
Posting Komentar